1, 2, 3, 4, 5 ..... dst
Gramedia matraman, hahaha.. asing
dan menjadi tak asing bagiku disini. Dengan dua buku ditangan aku sangat senang
maam ini,
Bermula dari kebut-kebutan mulai
dari jembatan manggarai hingga terminal tanjung priok, haha cerita kebutanya
saya skip aja ya teman, hehehehe…
Terminal bak pasar, penuh sesak
orang dan pedagang asongan lalu lalang melintang, kendaraan melintas dengan
merk masing-masing terpampang. Cahaya lampu berpendar menciptakan beribu
bayangan,
mereka pun bertubrukan dan
semakin pekat,
berpisah dan memudar
mendekat menjadi satu dan menjauh menjadi panjang dan bertubrukan
kembali menjadi pendek dan kecil, begitulah lampu-lampu itu membentuk warna
kehidupan, bak kita berjalan menjadi apa untuk siapa dan kemana?
Dengungan kendaraan, kepulan asap
kendaraan dan teriakan-teriakan para makelarseolah terdengar bagai lagu tahun
70an, mendayu-dayu dengan ritme yang tinggi. Apa ini merupakan sebuah ironi, keputusan
untuk mengikuti kehidupan namun kenyataannya perlawanan itu sudah tak
terbelenggu kenyamanan lagi, bebaslah dan lepas!!!
Ibu-ibu menggendong anaknya,
anak-anak memegang rok ibunya dengan erat. Sepasang kekasih bergandengan tangan
dengan mesranya dan pemuda bercerita sebuah empati realita seorang nenek
digandeng perempuan muda, entah anaknya entah sodaranya, entah majikannya..
Menurutku sekilas usia nenek itu 70
- 80tahun bajunya lusuh tanpa alas kaki, digandengan diantara keramaian
terminal priok, Jakarta utara. Jalanya sangat lambat, tertatih seolah ada rasa
sakit yang tertahan dimulut dan sendi-sendinya ketika menyusuri kepulan asap
malam itu, perempuan muda berperawakan tambun disebelah kanannya menggandeng dengan
santai dan seolah perempuan renta bak bocah usia 5 tahun. permpuan tambun itu sodaranya kah atau ibunya kah?
Entahlah, aku tak ambil pusing
dengan apa yang kulihat, namun tanda Tanya itu selalu terbang hingga sekarang,
nenek itu berselempang selendang kusut dengan buntalan makanankah atau apa aku
pun tak bisa menerka, melihat perempuan disebelahnya sangant berbeda. Sangat malang
nenek itu, kakinya menapak kecil terumpat rasa sakit dan lelah menapak lantai
hitam penuh debu dan kerikil yang keras.
Nenek, dapat uang berapa malam ini? Sudah waktunya pulang, waktu untuk menyerahkan keringatmu untuk majikanmu
dan saatnya kamu pulang, sebungkus nasi menunggumu atau kau pulang dan tidur
dengan kelaparan. Nenek, semoga rijekimu hari esok banyak dan majikanmu
bahagia..
Teman, apakah aku berfikir benar?
Apabila salah, akan aku ralat kemudian hari dan apabila aku benar akan kuralat
kemudian hari..
Malam ini Jakarta tidak terlalu
dingin untuk bercerita, tidak terlalu panas untuk sekedar cuci muka dan tidak
terlalu manis untuk dinikmati. Apa yang aku pikirkan adalah cerita, namun tanpa
aku coretkan itu hanyalah sebuah angan dan bayangan saja.
Selamat istirahat kawan, semoga
kalian tidak merasa nyaman dengan yang sekarang.amin.
*wahyu aji sasongko Jakarta, 3 Februari 2013 Jl. Warakas, Tanjung
priok 23:38
0 komentar:
Post a Comment
penulis ucapkan terima kasih