Pengaruh Pers dalam Dunia Politik

Antusiasme masyarakat terhadap apa yang terjadi dalam sistem politik indonesia sekarang ini patut disyukuri. Media massa yang selalu memaknai setiap kejadian atau peristiwa politik khususnya memiliki peran yang sangat penting. Media masa yang digerakkan oleh orang-orang pers pada dasarnya merupaka sebuah manivestasi mulut dan telinga pemerintah, dimana pemerintah harus mengiformasikan sebuah kebijakan dan ada waktunya pula pemerintah menerima keluhan atau tanggapan dari rakyat dalam bunia politik semuanya itu bersifat mungkin. Pers yang merupakan lembaga kemasyarakatan dan merupakan sub-sistem dari sistem kemasyarakatan dimana ia berada, tentunya dengan sub-sistem sub-sistem nilai. Oleh karena itu lembaga kemasyarakatan ini tidak berdiri sendiri, melainkan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lembaga kemasyarakatan laninnya.

Bersama-sama dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya itu, pers berada dalam keterkaitan organisasi yang bernama negara. Pers yang terkait dalam negara harus mengikuti falsafah dan sistem politik yang berlaku dinegara dimana pers itu hidup. Oleh karena itu pers juga merupakan bagian dari sistem komunikasi politik suatau negara dengan berbagai fungís politiknya. Menurut Blumler dan Gurevitch yang mengatakan bahwa ada empat komponen yang perlu diperhatikan dalam mengkaji sistem komunikasi politik, yaitu:

1. instituís politik dengan aspek-aspek komunikasinya,
2. instituís media dengan aspek-aspek komunikasi politiknya,
3. orientasi khalayak terhadap komunikasi politiknya,
4. aspek-aspek komunikasi yang relevan dengan budaza politik.

Di lain sisi Suryadi memaparkan, sistem komunikasi politik kita terdiri dari elit politik, media massa, dan khalayak. Sekarang, apakah yang dimaksud dengan komunikasi politik itu? Secara sederhana Alexander L. George menyatakan bahwa Komunikasi Politik adalah proses penyampaian mengenai politik dari pemerintah kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada pemerintah.

Sedangkan menurut Michael Schudson, Komunikasi politik merupakan any transmission of messages that has, or is intended to have, an effect on the distribution or use of power in society or on attitude toward the use of power.

Selain itu ia juga mengungkapkan bahwasanya gejala komunikasi politik dapat dilihat dari dua arah. Pertama, bagaimana institusi-institusi negara yang bersifat formall atau suprastruktur politik menyampaikan pesan-pesan politik kepada publik. Kedua, bagaimana infrastruktur poliitik merespons dan mengartikulasi (memaknai) pesan-pesan politik terhadap suprastruktur. Ada benang merah yang menghubungkan antara kedua arah gejala komunikasi tersebut. Pers memegang peranan penting dalam komunikasi politik. Ia dapat menjadi jembatan antara suprastruktur terhadap infrastruktur. Dengan posisinya yang demikian, pers selalu dituntut untuk memandang sesuatu permasalahan atau konflik yang terjadi secara seimbang dalam artian tidak memihak dan menyudutkan pihak tertentu atau objektif.

Menurut Olien, Donohue, dan Tichenor, dalam situasi konflik (seperti sekarang ini), fungsi media massa adalah:

1. Mengeliminasi konflik dan menekankan konsensus
2. Mengedepankan dan menonjolkan konflik
Agaknya, fungsi kedua inilah yang lebih tampak dianut oleh pers Indonesia sekarang. Tak berlebihan bila posisi dan peran pers sekarang tengah berada pada posisi watch dog (anjing penggonggong) , dan bukan lagi sebagai guard dog (anjing penjaga) bagi penguasa seperti pada masa orde baru, dimana pers berfungsi untuk meredam opini publik, melegitimasi keputusan politik penguasa, dan mementingkan kepentingan diri sendiri (Olien, Donohoe, dan Tichenor, 1995).
Saat ini apa yang terjadi dalam percaturan politik kita merupakan suatu hal yang ditunggu insan pers. Pemberitaan yang diangkat seputar elit politik dalam memperjuangkan kepentingannya bagaikan santapan empuk pers untuk ramai-ramai dibicarakan. Untuk sama-sama disaksikan oleh rakyat Indonesia. Melihat kecenderungan ini, paling tidak ada dua orientasi pemberitaan. Sebelum reformasi, barangkali kita melihat bahwa media cetak dan elektronuik lebih berpusat pada peristiwa. Sedangkan kini disaat iklim reformasi, media, khususnya media partai yang berbentuk tabloid partai, lebih berpusat pada gagasan politik partai. Maka tak berlebihan pula bila trend media di era reformasi bisa disebut sebagai munculnya kembali an age of press politics. Kemampuan pers dalam menyebarkan banyak hal untuk secepatnya diketahui berbagai pihak, membuat keberadaanya seakan memiliki kekuatan dan kekuasaan tersendiri. Lalu dikenallah pers sebagai kekuasaan keempat, yang dimaksud Pers adalah kekuasaan keempat, sesudah legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Posisi yang relatif dekat ini semakin mempermudah jalan bagi pers untuk mmemaknai setiap permasalahan yang timbul dalam dunia politik, diantara suprastruktur dengan infrastruktur maupun dalam tatanan suprastruktur itu sendiri. Kegembiraan atas terlepasnya tekanan yang dialami pers Indonesia pada masa reformasi sesekali membuat penguasa naik pitam. Mereka sulit untuk mengajukan somasi (teguran) kepada pihak pers mengenai pemberitaan, karena akan dianggap mengekang kebebasan pers, dan mereka akan didemo besar-besaran. Sehingga kini, penguasa pun hati-hati dalam melangkah.

Kecenderungan penilaian awam akan tidak sendirinya pers nasional kita dalam kepentingan politik walaupun dalam reformasi adalah hal yang wajar saja. Kita tidak perlu terlampau mengkhawatirkan arah pemberitaan surat kabar dan majalah di Indonesia, hanya karena parameter politik yang terlampau sempit dalam menilai informasi politik dari pers nasional kita sendiri. Usuran politik yang terlampau sempit dalam menilai pemberitaan pers Indonesia itu berasal dari subjektivisme kepentingan dalam diri kita masing-masing. Bila kita tergolong pendukung Partai Persatuan Pembangunan, maka surat kabar dan majalah di negeri ini akan kita tuntut untuk selalu berwarna hijau saja. Dalam keadaan seperti itu, rasa ingin tahu kita tertutup bagi pola pemberitaan yang berwarna kuning, hijau, maupun biru. Pada dasarnya, ada dua peluang yang mendasari pers kita dalam pemberitaan, yaitu, pertama, upaya pers tersebut meningkatkan pengetahuan yang lebih mendalam kepada publik pembacanya. Kedua, kesempatan untuk mengolah fakta yang terjadi sebagai komoditas pers atau dengan kata lain melihat sisi komersial dari pers itu. Pers dalam kehidupan politik tidak dapat dilepaskan karena kembali kepada empat fungsi pers yaitu to inform, to educate, to control, dan to entertain (Lasswell & Wright), hanya saja pada masa pers politik (an age of press-politics) seperti sekarang ini, alangkah baiknya apabila kita mengembangkan fungsi media yang demokratis, seperti yang diungkapkan Keane dan Curran dalam Reilly (1997), yaitu: pertama, Media hendaknya membuka dialog publik dengan menyajikan keragaman perspektif, baik dalam berita maupun hiburan. Kedua, Media hendaknya memperkokoh terbentuknya masyarakat madani (civil society) lewat pemberdayaan berbagai organisasi yang menjadi representasi para anggotanya. Semua pandangan alternatif yang hidup dalam masyarakat harus disajikan oleh media. Ketiga, Media hendaknya turut menyajikan cara dan mekanisme demokrasi guna mencapai tujuan bersama.
Indonesia selalu menekankan pemerintahan yang demokratis, sehingga demokrasi yang dikehendaki sekarang adalah bagaimana the rule of the people, terjadi dalam praktek politik. Menurut John Durham Peters, syarat demokrasi adalah bagaimana rakyat mampu mengambil bagian dalam diskusi dan pengambilan keputusan politik. Sehingga, mungkin apa yang dikatakan Thomas E. Peterson dapat dijadikan barometer bagi pers, pemerintah, dan masyarakat. Betapa pentingnya fungsi dan hubungan sinergi yang terjalin antara pers dengan politik dalam percaturan politik dalam negeri. Mengingat pers merupakan sebuah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa, dari sudut ini saja pers sudah sangat menguntungakan dalam hal mengkomunikasikan dan menilai respon masyarakat akan sesuatu kebijakan atau informasi yang telah disampaikan. Dalm dunia politik konunikasi massa memiliki peran yang cukup signifikan diantaranya komunikasi politik internal dan komunikasi politik eksternal. komunikasi politik secara internal dapat diartikan sebagai komunikasi didalam lingkup kecil atau masih dalam tubuh sebuah organisasi politik, sedangkan komunikasi eksternal politik aplikasi dimasyarakat dilihat dari pengelolaan komunikasi yang terkonsumsi oleh masyarakat. Adapun fungsi lain dari media massa yaitu edukasi, informasi, entertainment dan control sosial.

Daftar Pustaka
Saeful, Muhtadi, komunikasi politik indonesia. Rosda, 2008.
Pawito, Komunikasi Politik: Media Massa dan Kampanye Pemilihan. Jalasutra, 2009.
UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers