Petiklah KISAH Dibalik Sebuah PELAJARAN

Hemzzz …



Intermezzo yang bagus bukan? …

Biarpun musim hujan tiba, bukit itu tetap saja kelihatan pelontosnya. nampak hanya beberapa pohon jenis akasia, semak belukar dan rumput liar yang bergerumbul tak rata. tak cukup mendinginkan bila mentari beranjak dan memanaskan saat bulan berkedip pada makhluk-Nya…
Ndak tahu apa yang dipikirkan pembalak liar itu! Perut, sebuah jawaban klise dan hampir usang dimakan jaman, huft …
Lagi-lagi Indonesia menangis meluapkan air mata yang buthek (keruh)..
“bukit, dulu kau tak begini? Kenapa bias begini? Siapa yang menganumu?” Tanyaku kebukit, lagi-lagi diam seribu bahasa, hihihihii …
Hijau dikejauhan namun gersang didepan mata, ingat aku masih kecil disaat ikut ayah bekerja, melihatmu aku sungguh bahagia. rambutmu yang panjang dengan mahkota indah bertahta berlian membuatku jatuh hati. “gombaalll” itu kata cewek sekarang…
Namun, semua itu tinggallah puing yang pak loak pun enggan memungutnya, tonggak-tonggak yang tak berdaya terlihat berdesakan menunggu antrian api dapur ...

*Berita Hari Ini*
“bencana banjir telah melanda kota ….. “
“longsor lereng bukit …. Menewaskan sekian korban luka-luka dan sekian korban meninggal”, salah siapa ini? Tanyaku dalam hati…
Hujan udah reda, mendung yang menggelayut dilangit berangsur pudar berganti biru nan cantik. “Indah pada waktunya”.hemmm ...
Lekas ku tinggalakan pondok reot disamping bukit itu, sebelum ku tinggalkan aku menitipkan pesan ke pondok lapuk, “pondok, tolong bilang ke bukit sebelahmu, bahwa dulu hingga sekarang aku, keluargaku bahkan nenek moyangku dulu menggantungkan kesehatan kami padanya! apapun yang tersisa sekarang tolong suruh pertahankan dengan baik! Maaf, aku berpesan padamu karena si bukit tak mau menemuiku”, sampai jumpa lagi …

“Cklak” terdengar benturan peralihan gigi mesin satu ke gigi dua menghentakkan kisah Indonesia yang sedang berelegi …
KUTEROBOS kubangan air dan KUTERJANG kabut yang beranjak menuruni bukit, “rumah, rumah dan rumah” itu tujuanku.
Aku yakin lambaian tangan bukit dan pondok menyertai perpisahan ini, dalam hati ku berpesan padamu bukit “benamkanlah akar rambutmu sedalam mungkin dan kami akan merawatmu".
Posisimu tak kan tergantikan oleh tabung-tabung gas yang dijual dilapak-lapak apotek, dirimu tetap menjadi jantung jagad ini…

"JiwA"

Tanah kita tanah surga, tongkat kayu jadi tanaman..
Sebuah petikan syair yang sangat bagus untuk sebuah negeriku tercinta, tanah air Indonesia…
Aku adalah seorang seniman, kerjaku hanya melukis dan mengkonsep irama warna untuk sebuah harapan kalian…
Setelah hamparan sawah yang loh jinawi tenteram dalam lanskap basuki abdulah, muncul seorang banyak seniman realism yang lebih akrab antara kanvas dan manusia: melihat sebuah kenyataan dengan perasaan (jiwa).
Tetapi apa gerangan yang disebut “jiwa”?
Sebenarnya kita tak tahu persis, kecuali bahwa itulah yang dipendam dalam kanvas-kanvas yang kemudian diberi cap” mooie indie”, “Hindia Molek”, yang diproduksi dan dikonsumsi kalangan atas di tahun 1930-an.
Seniman-seniman muncul dari gemuruh ini, bersama hasrat untuk tak terjepit dalam ketertiban klasifikasi dan tenggelam ke bawah hamparan sawah. Ia bicara tentang “jiwa” – dengan kata lain, tentang manusia, seperti chairil anwar mengucap “aku”.
Mungkin para perupa sekarang semakin menganggap “jiwa” atau ”subyektifitas”, bukan soal yang penting. Lagipula, seperti dikatakan diatas, antara “jiwa” yang Nampak di dalam kanvas dan diri yang menggerakkan kuas selamanya ada jurang pemisah. Makin diakui, si perupa selamanya setengah menghilang.
Seakan-akan kini orang sedang meneguhkan dalam karya seni rupa besar, sang seniman. hampir seperti sebuah jalur jalan yang menghancurkan dirinya sendiri dalam proses kreatif, agar karya itu muncul.