"JiwA"

Tanah kita tanah surga, tongkat kayu jadi tanaman..
Sebuah petikan syair yang sangat bagus untuk sebuah negeriku tercinta, tanah air Indonesia…
Aku adalah seorang seniman, kerjaku hanya melukis dan mengkonsep irama warna untuk sebuah harapan kalian…
Setelah hamparan sawah yang loh jinawi tenteram dalam lanskap basuki abdulah, muncul seorang banyak seniman realism yang lebih akrab antara kanvas dan manusia: melihat sebuah kenyataan dengan perasaan (jiwa).
Tetapi apa gerangan yang disebut “jiwa”?
Sebenarnya kita tak tahu persis, kecuali bahwa itulah yang dipendam dalam kanvas-kanvas yang kemudian diberi cap” mooie indie”, “Hindia Molek”, yang diproduksi dan dikonsumsi kalangan atas di tahun 1930-an.
Seniman-seniman muncul dari gemuruh ini, bersama hasrat untuk tak terjepit dalam ketertiban klasifikasi dan tenggelam ke bawah hamparan sawah. Ia bicara tentang “jiwa” – dengan kata lain, tentang manusia, seperti chairil anwar mengucap “aku”.
Mungkin para perupa sekarang semakin menganggap “jiwa” atau ”subyektifitas”, bukan soal yang penting. Lagipula, seperti dikatakan diatas, antara “jiwa” yang Nampak di dalam kanvas dan diri yang menggerakkan kuas selamanya ada jurang pemisah. Makin diakui, si perupa selamanya setengah menghilang.
Seakan-akan kini orang sedang meneguhkan dalam karya seni rupa besar, sang seniman. hampir seperti sebuah jalur jalan yang menghancurkan dirinya sendiri dalam proses kreatif, agar karya itu muncul.

0 komentar:

Post a Comment

penulis ucapkan terima kasih