menu meja makan part 1

JALAN-JALAN sepanjang kota itu menempati ruang istimewa dalam hati Sumarno, begitu juga sebaliknya.. Berpuluh tahun dia jadi saksi perubahan zaman yang terjadi di kotanya. Andai saja tiap ruas jalan itu punya jemari, tentu nama Sumarno akan mereka catat dengan tinta emas lalu di bingkai dalam sejarah. Tapi apalah artinya jelata seperti Sumarno, yang kaumnya cuma bisa pasrah dan tabah ketika dijadikan tumbal oleh para penguasa.

Sebagai tukang sapu jalan, dia cukup tahu diri untuk membusungkan dada atau mengabarkan pada setiap orang bahwa ia adalah pahlawan. Lelaki tua berbadan kecil, bungkuk, ringkih dan mulai sakit-sakitan itu hanya percaya bahwa sebagian besar kenangan tentang pergulatan hidupnya telah disumbangsihkan untuk jalan-jalan yang hingga saat ini tak seluruhnya mampu ia ingat namanya.

Pagi buta. Sumarno sudah siap menjalankan rutinitas sehari-hari. Dengan senjatanya: sapu lidi, karung goni kumal, dan seragam yang sudah tidak layak membungkus tubuh; Sumarno bak serdadu yang siap bertempur ke medan perang. Dia pergi diam-diam tanpa pamit pada istri atau anak-anaknya. Tak tega ia membangunkan mereka. Biarlah anak beranak itu tersenyum dalam mimpi indahnya masing-masing, sebab cuma tinggal mimpilah yang bisa mereka miliki secara gratis.

Berjalan menyusuri kota yang masih pulas, Sumarno ingat kemarin ada demo lagi. Ribuan orang tumpah ruah di jalan. Entah apalagi yang mereka tuntut. Bagi Sumarno, usai pesta rakyat itu berarti tumpukan sampah berserak di mana-mana, dan dia bertanggung jawab membersihkannya. Sumarno pernah ngedumel. Apa mereka tidak sadar kalau ulah mereka membuat bebannya tambah berat? Tapi siapa yang peduli pada Sumarno. Apalah artinya keringat tukang sapu jalan, dibanding niat tulus para demonstran yang, konon, demi masa depan bangsa. Toh, sampah-sampah itu tetap harus dilenyapkan. Atasannya pernah memuji peran Sumarno dan rekan-rekan seperjuangannya. Karena jasa merekalah kota itu bisa mempertahankan Adipura untuk kelima kalinya.

Meski cuma tamatan SD, Sumarno tahu lingkungan kotor membuat hidup tak nyaman. Apa jadinya kota yang hiasi sampah? Para pejabat pasti malu bukan kepalang kalau turis-turis bule yang mampir menganggap sampah sebagai ciri khas kota itu. Sumarno pun maklum kalau sampah jadi barang haram di kota itu. Tapi Sumarno manusia, bukan robot atau binatang. Dalam tubuhnya ada jiwa dan hati nurani. Maka, dalam hati sering dia memaki, ‘'Apa pejabat-pejabat itu juga ngerti kalau aku ini orang miskin? Yang aku butuhkan itu uang! Bukan pujian! Bukan penghargaan! Aku perlu uang, untuk mengganjal perut anak istriku! Heh, apakah mereka itu manusia juga?''

0 komentar:

Post a Comment

penulis ucapkan terima kasih